Minggu, 31 Juli 2016

PENGANTAR

Tags

Pengantar Manajemen Pesantren

 Apakah kita perlu menerapkan manajemen Pesantren? Pertanyaan atau keraguan tersebut masih bisa dideret lagi. Intinya, apakah pesantren diharuskan menerapkan manajemen. Kalau ya, manajemen yang bagaimana? Kehadiran artikel ini setidaknya memberikan dua perspektif. Pertama, jawaban atas keraguan atau kekhawatiran yang mungkin muncul di sebagian kalangan bahwa pesantren tidak bisa berubah atau diubah dan susah menerima inovasi yang berasal dari luar. Kedua, solusi atau tawaran pengembangan pesantren dengan tetap berpijak dari nilai-nilai kultural yang dimiliki pesantren sendiri.
Kita Mafhum bahwa pesantren dekat dengan figur Kiai (Buya di Sumatra Barat, Anjengan di Jawa Barat, Bendoro di Madura, dan Tuan Guru di Lombok). Kiai dalam pesantren adalah figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan.  Oleh sebab itu, perubahan atau inovasi apapun yang dilakukan pesantren sendiri, dalam hal ini kiai memegang peranan penting. Banyak contoh pesantren yang maju disebabkan karena sentuhan inovasi yang dilakukan kiai sendiri. pertanyaan ini bukan berarti menafikan pengaruh dari luar. Pemerintah Orde Baru sejak tahun 1970-an pernah melancarkan modernisasi pesantren yang diarahkan pada pengembangan pandangan dunia dean substansi pendidikan pesantren agar lebih responsif terhadap kebutuhan tantangan zaman (pembangunan). Selain itu, pembaruan pesantren juga diarahkan untuk fungsionalisasi (atau tepatnya refungsionalisasi) pesantren sebagai salah satu pusat penting bagi pembangunan masyarakat. Dengan posisi  dan kedudukannya yang khas, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (people-centered development) dan sekaligus sebagai pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (value-oriented development). Melalui gagasan itulah pesantren diharapkan tidak lagi sekedar menjadi lembaga pendidikan, tetapi sekaligus menjadi pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan, pusat usaha-usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup, dan lebih penting lagi menjadi pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitarnya.
menghadapi gagasan modernisasi tersebut, respon dunia pesantren tampak terbelah. Sebagian pesantren menolak campur tangan pemerintah dalam pendidikan pesantren karena dianggap bakal mengancam eksistensi pendidikan khas pesantren. Khas lain lebih menerapkan "kibijakan hati-hati" (cauntious policy), tetapi sebagian besar pesantren memberikan respon adaptif degnan mengadopsi sistem persekolahan (baik berbentuk madrasah maupun sekolah umum) meskipun sebagai konsekuensi logis---melepaskan bagian esensial dari fungsi tradisional mereka sebagai lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fiddin) dan nilai-nilai Islam (Islamic Values).
 Saat ini pesantren telah mengalami perkembangan luar biasa dengan variasi yang sangat beragam. Bahkan beberapa pesantren telah muncul bak sebuah "kampus mercusuar" yang memiliki berbagai kelengkapan fasilitas untuk membangun potensi-potensi santri, tidak hanya segi akhlak, nilai, intelek, dan spiritualitas, tetapi juga atribut-atribut fisik dan material. Meskipun tetap mempertahankan ciri khas dan keaslian isi (curriculum content) yang sudah ada, misalnya sorogan dan bandongan, kebanyakan pesantren mengadopsi sistem persekolahan yang klasikal-formal.
Sejalan dengan penyelenggaraan pendidikan formal, beberapa pesantren juga mulai menerapkan manajemen modern yang ditandai dengan pola kepemimpinan yang distributif, organisasi yang terbuka, dan administrasi pengelolaan keuangan yang transparan. Meskipun jumlah pesantren yang menerapkan pola ini sangat kecil, perkembangan ini tentu menarik untuk dicermati. 



EmoticonEmoticon