SPIRITUALITAS DAN ANASIR KEMODERNAN
Written by: Fikri Farikhin,M.Pd.I
Membicarakan spiritualisme Islam dalam konteks dunia modern,
mengharuskan adanya pembatasan “modern” tersebut. Dalam kajian ini, kemodernan
diukur dalam konteks kekinian, yakni antara kurun abad 18 sampai abad sekarang
ini. Oleh karenanya, spiritualisme Islam atau tasawuf pada masa modern berarti
adalah eksistensi tasawuf antara abad ke-18 sampai dewasa ini.
Akan tetapi, karena pembahasan tasawuf tidaklah hanya
bersifat parsial, maka tentu saja, dalam kajian ini secara ringkas juga akan
dikemukakan keberadaan tasawuf tersebut, untuk mencari garis kesinambungannya
pada masa modern, sekaligus mencari titik-titik yang membedakan karakter
tasawuf klasik dengan tasawuf modern.
Perlu dikemukakan terlebih dahulu, bahwa spiritualitas
keagamaan yang muncul pada era modern, merupakan salah satu bentuk dari
pendekatan neo-tradisionalisme agama-agama atau bentuk lain dari gerakan
neo-sufisme, namun bukan sufisme popular semacam tarekat yang umum dianut
bangsa Indonesia. Pada masa modern ini, terdapat banyak tokoh penggerak
spiritualitasme Islam, seperti Sayyed Hossein nasr, Muhammad isa Nurdin
(Frithjof Schuon), dan sebagainya. Sayangnya tradisi spiritualitas perenialisme
ini belum bisa menjadi arus kuat di Indonesia.
Dalam menghadapi arus modernitas itu, para spiritualis
sangat getol menyuarakan agenda pencarian dan penemuan kembali khazanah
spiritual keagamaan, yang mengawali era kebangkitan kembali tradisi sufistik. Ini
bermuara pada pencarian ajaran-ajaran “ketimuran” yang disebut hossein Nasr
sebagai “Penemuan kembali kesucian”. Sementara, kesucian itu sendirilah –menurut
Nasr- sebenarny adalah yang mampu menjadi factor dan fakta pembebas manusia
(Sayyed hossein Nasr, Pengetahuan dan Kesucian, 1997:107-151). Dan aspek
kesucian ini hanya berada dalam fokus spiritual keagamaan, atau dikenal dalam
islam sebagai tasawuf atau sufisme.
EmoticonEmoticon